
1. Syaja'ah
1.1. Pengertian
1.1.1. Secara bahasa : syaja'ah berarti berani antonimnya dari kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang
1.1.2. Secara istilah : syaja’ah adalah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara berani dan terpuji
1.2. Dalil naqli
1.2.1. ”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran [3]: 139)
1.3. Macam-macam
1.3.1. Syaja’ah harbiyah : keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam medan tempur di waktu perang
1.3.2. Syaja’ah nafsiyah : keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan kebenaran
1.3.2.1. As-Sarahah fi al-haq : terus terang dalam kebenaran dan tidak plin-plan
1.3.2.2. Kitman al-sirr : menyembunyikan rahasia, tidak membukanya apalagi menyebarluaskan
1.3.2.3. Al-I’tiraf bi al-khata’ : mengakui kesalahan, tidak menutupi kesalahan apalagi mengemasnya dengan kemasan-kemasan kebenaran
1.3.2.4. Al-Insaf min al-nafs : objektif terhadap diri sendiri
1.4. Bentuk-bentuk
1.4.1. Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah
1.4.2. Berterus terang dalam kebenaran
1.4.3. Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan
1.5. Keutamaan
1.5.1. Menimbulkan sifat mulia, cepat tanggap, perkasa, memecah nafsu memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai
1.5.1.1. Namun, apabila keberanian seseorang tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat : ceroboh, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, takabbur dan ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin kurang syajaah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati, dsb.
2. 'Adalah
2.1. Pengertian
2.1.1. Secara bahasa : ’adalah berasal dari kata adil yang artinya tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain, setelah berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang
2.1.2. Secara istilah : adil adalah menetapkan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau beberapa masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama
2.2. Dalil naqli
2.2.1. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa [4]: 58)
2.2.2. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl [16]: 90)
2.3. Bentuk-bentuk
2.3.1. Adil terhadap Allah, yakni sebagai makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita
2.3.2. Adil terhadap diri sendiri, menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan
2.3.3. Adil terhadap orang lain, memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar
2.3.4. Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya yang sesuai
2.4. Keutamaan
2.4.1. Terciptanya rasa aman dan tentram karena semua telah merasa diperlakukan dengan adil
2.4.2. Membentuk pribadi yang melaksanakan kewajiban dengan baik
2.4.3. Menciptakan kerukunan dan kedamaian
3. Hikmah
3.1. Pengertian
3.1.1. Secara bahasa : kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur’an al-Karim
3.1.2. Secara istilah : artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagaimana dalam ketentuan hukum-Nya
3.2. Beberapa makna
3.2.1. Adil : mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kezaliman
3.2.2. Hilm : mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kemarahan
3.2.3. Ilmu : mencegah pelakunya dari terjerumus kedalam kejahilan
3.2.4. Nubuwwah Qur’an : seorang Nabi diutus untuk mencegah manusia menyembah selain Allah, dan dari terjerumus kedalam kemaksiatan serta perbuatan dosa
3.3. Dalil naqli
3.3.1. “Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang ber-akal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS. Al-Baqarah [2] : 269)
3.4. Bentuk-bentuk
3.4.1. Dapat menempatkan perkataan yang bijak, pengajaran, serta pendidikan sesuai dengan tempatnya
3.4.2. Dapat memberi nasihat pada tempatnya
3.4.3. Dapat menempatkan mujadalah (dialog) yang baik pada tempatnya
3.5. Keutamaan
3.5.1. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam melaksanakan dan membela kebenaran atau keadilan
3.5.2. Menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal utama yang terus dikembangkan
3.5.3. Mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan beragam pendekatan dan bahasan
4. Iffah
4.1. Pengertian
4.1.1. Secara bahasa : affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik dan memelihara kesucian diri
4.1.2. Secara istilah : memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya
4.2. Dalil naqli
4.2.1. Perintah menjaga kesucian panca indra : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur [24]: 33)
4.2.2. Perintah menjaga kesucian jasad : “Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
4.2.3. Perintah menjaga kesucian dari memakan harta orang lain : “Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)” (QS. An-Nisa [4]: 6)
4.3. Bentuk-bentuk
4.3.1. Menjaga kesucian diri, meliputi
4.3.1.1. Kesucian panca indra
4.3.1.2. Kesucian jasad
4.3.1.3. Kesucian dari memakan harta orang lain
4.3.1.4. Kesucian lisan
4.3.2. Menjaga kehormatan diri
4.3.2.1. Dalam masalah seksual
4.3.2.2. Dalam masalah harta
4.3.2.3. Dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain kepada dirinya
4.3.3. Membimbing jiwa menuju kearifan
4.3.3.1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk
4.3.3.2. Merasa cukup dengan Allah Ta’ala
4.4. Keutamaan
4.4.1. Dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat merendahkan martabat
4.4.2. Memiliki keinginan yang sederhana (qana’ah), untuk tunduk dengan keinginan yang baik
4.4.3. Dapat menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah nafsu