1. Politik Luar Negeri Indonesia dari Masa ke Masa
1.1. Demokrasi Terpimpin/Orde Lama
1.1.1. Politik luar negeri Indonesia pada masa ini bersifat revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos). Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi.
1.2. Demokrasi Parlementer
1.2.1. Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya. Sejak pertengahan tahun 1950 an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti, Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/ NAM).
1.3. Orde Baru
1.3.1. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing. Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
1.4. Reformasi
1.4.1. Pada masa pemerintahan Habibie, disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds (IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Diplomasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. Pada masa presiden Megawati lebih memerhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat. Pada masa pemerintahan SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara antara lain dengan Jepang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
2. Landasan Ideal dan Konstitusional Luar Negeri
2.1. Pancasila
2.1.1. Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.
2.2. UUD 1945
2.2.1. Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama.
2.2.2. Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
3. Pelaksanaan Politik Bebas-Aktif
3.1. Lahirnya Politik Bebas-Aktif
3.1.1. Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur), Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu. Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.
4. Peran Indonesia dalam Menjaga Perdamaian Dunia
4.1. KAA
4.1.1. Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan Konferensi Kolombo tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/Myanmar, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo. Dasasila Bandung : Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusiaan yang termuat dalam piagam PBB. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
4.2. GNB
4.2.1. Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT).
4.3. ASEAN
4.3.1. Pada tanggal 5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration. Deklarasi tersebut merupakan persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN). Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah: Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara. Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara. Memajukan kerjasama aktif dan saling membantu di negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi. Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian. Kerjasama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya. Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara. Memelihara dan meningkatkan kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang ada.
4.4. Misi Garuda
4.4.1. Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman Misi Garuda dilatarbelakangi adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for the Congo (UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait munculnya konflik di Kongo (Zaire sekarang). Konflik ini muncul berhubungan dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu pecahnya perang saudara.
5. Politik Luar Negeri
5.1. Pengertian
5.1.1. Politik luar negeri adalah suatu tatanan atau kebijakan dalam berhubungan antar negara yang mencakup nilai, sikap, tatanan bagi setiap negara yang memiliki hubungan internasional dengan tujuan untuk mempertahankan, melindungi, dan untuk memajukan kepentingan suatu negara dengan negara lainnya.
5.1.2. Bebas memiliki maksud bahwa Indonesia tidak memihak suatu negara tertentu atau blok tertentu yang terdapat di dunia. Sedangkan aktif memiliki pengertian bahwa negara Indonesia selalu aktif dalam memecahkan permasalahan internasional dan menciptakan perdamaian dunia.
5.2. Tujuan
5.2.1. Menurut Muhammad Hatta, politik luar negeri Indonesia memiliki beberapa tujuan sebagai berikut: Meningkatkan hubungan antarbangsa dari suatu negara tertentu sebagai wujud pelaksanaan cita-cita yang tersimpul di dalam Pancasila, dasar dan filsafat negara kita Mendapat input barang dari luar negeri yang diperlukan oleh negara untuk menciptakan kemakmuran rakyat Meningkatkan perdamaian antarnegara secara internasional Memberikan pertahanan untuk kemerdekaan bangsa dan melindungi negara
5.3. Arah Kebijakan
5.3.1. Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitik beratkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional.Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi regional maupun internasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan.Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC dan WTO.