1. Perjuangan Diplomasi
1.1. Perjanjian Linggar Jati
1.1.1. Perundingan Linggarjati atau Perundingan Cirebon adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia.
1.1.2. Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda maka pada 10 November 1946 diadakan perundingan di Linggar Jati.
1.1.3. Tokoh-Tokoh
1.1.3.1. Pihak Indonesia
1.1.3.1.1. dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo.
1.1.3.2. Pihak Belanda
1.1.3.2.1. Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj. Van Mook.
1.1.3.3. Pihak Inggris
1.1.3.3.1. Lord Inverchapel dan Lord Killearen
1.1.4. Isi Perjanjian
1.1.4.1. 1. Belanda mengakui secara de facto, wilayah Jawa, Sumatera, dan Madura.
1.1.4.2. 2. Belanda harus meninggalkan wiayah. RI pada tanggal 1 Janari 1949.
1.1.4.3. 3. Pihak Belanda sepakat membentuk RIS.
1.1.4.4. 4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam persemakmuran antara Indonesia-Belanda.
1.1.5. Dampak
1.1.5.1. Pengakuan politik, kemerdekaan Indonesia, pengakuan jawa, belanda, madura, berakhir konflik indonesia dan Belanda.
1.2. Perjanjian Renville
1.2.1. Perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi ada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.
1.2.2. Keputusan Kerajaan Belanda menyebut “penunjukkan suatu komisi untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan sesuai Resolusi DK PBB tanggal 25 Agustus 1947.
1.2.3. Tokoh-tokoh
1.2.3.1. Delegasi Indonesia
1.2.3.1.1. Ketua: Amir Syarifuddin Anggota: Ali Sastroamidjojo, Haji Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coa Tik Len, Nasrun
1.2.3.2. Komisi Tiga Negara
1.2.3.2.1. Ketua: Frank Graham (Amerika Serikat) Anggota: Paul van Zeeland (Belgia), Richard Kirby (Australia)
1.2.3.3. Delegasi Belanda
1.2.3.3.1. Ketua: R. Abdulkadir Wijoyoatmojo Anggota: Mr. H.A.L van Vredenburgh, Dr. P.J Koets, Mr. Dr. Chr. Soumokil
1.2.4. Isi Perjanjian Renville
1.2.4.1. 1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
1.2.4.2. 2. Disetujuinya garis pemisah deklarasi wilayah Indonesia dan daerah penduduk Belanda.
1.2.4.3. 3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
1.2.5. Dampak
1.2.5.1. 1. Indonesia sebagai negara federasi. 2. Sistem pemerintahan dan konstitusi berubah 3. Reaksi keras rakyat 4. Wilayah RI Berkurang 5. Ekonomi Indonesia dihalangi
1.3. Perjanjian Roem Royen
1.3.1. Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen.
1.3.2. Tokoh-Tokoh
1.3.2.1. UNCI
1.3.2.1.1. Dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat, dibantu Critchley dari Australia dan Harremans dari Belgia.
1.3.2.2. Delegasi Indonesia
1.3.2.2.1. Dipimpin oleh Mohammad Roem, Anggota Ali Sastroamijoyo, Dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Supomo, dan Laturharhary. Perundingan ini diperkuat juga dengan kehadiran Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
1.3.2.3. Delegasi Belanda
1.3.2.3.1. Dipimpin oleh Dr. J. H. van Royen, dengan anggota Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr. P. J. Koets, Van Hoogstratendan, Dr. Gieben.
1.3.3. Isi Perjanjian Roem Royen
1.3.3.1. 1. Pemerintah Republik Indonesia ikut berpartisipasi dalam KMB.
1.3.3.2. 2. Pemerintah Indonesia harus dikembalikan ke Yogyakarta.
1.3.3.3. 3. Semua angkatan bersenjata milik negara Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan tahanan politik.
1.3.4. Dampak
1.3.4.1. 1. Penyerahan mandat dari Sjafruddin sebagai Presiden PDRI kepada Soekarno. 2. Gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia di sebagian besar wilayah Indonesia. 3. Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh
1.4. Konferensei Meja Bundar (KMB) dan Pengakuan Kedaulatan
1.4.1. Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949
1.4.2. Tokoh-tokoh
1.4.2.1. Ketua KMB
1.4.2.1.1. Willem Drees
1.4.2.2. Delegasi Indonesia
1.4.2.2.1. Dr. (HC) Drs. H. Mohammad Hatta
1.4.2.3. Delegasi Belanda
1.4.2.3.1. Johannes Henricus van Maarseveen
1.4.2.4. UNCI
1.4.2.4.1. Thomas Kingston Critchley
1.4.3. Isi Pernjanjian
1.4.3.1. 1. Belanda menyerahkan kedaulatan penuh atas Indonesia, dan mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS)
1.4.3.2. 2. RIS menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan dalam konstitusinya.
1.4.3.3. 3. Kedaulatanakan diserahkan selambat-lambatnya pada 30 Desember 1949
1.4.4. Dampak
1.4.4.1. 1. membuat Belanda akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka. 2. demokrasi yang menjadi cita – cita perjuangan tidak terlaksana dengan pembentukan RIS. 3. Seluruh tentara Belanda akhirnya ditarik dari wilayah Republik Indonesia Serikat.
2. NAJMA IZZATI AZHAR (26) XI MIPA 7
3. Agresi Militer Belanda 1 dan 2
3.1. Agresi Militer 1
3.1.1. Latar Belakang Adanya penolakan pihak Republik Indonesia terhadap tuntutan Belanda. Penyelenggaraan gendarmie (keamanan dan ketertiban bersama).
3.1.1.1. 21 Juli 1947 penyerangan kota besar di jawa Menyerang perkebunan dan pertambangan.
3.1.1.2. 30 Juli 1947, pemerintah India & Australia meminta masalah Indonesia Untuk memasukan dewan PBB
3.1.1.3. 25 Agustus 1947 , AS diterima sebagai keputusan DK PBB. Usul AS adalah pembentukan Committee of Good Officer
3.2. Agresi Militer 2
3.2.1. Latar belakangnya adalah adanya pengingkaran Belanda atas hasil perjanjian Renville
3.2.1.1. Serangan diawali penerjunan pasukan payung dipangkalan udara Maguwo dan menduduki ibu kota Yogyakarta.
3.2.1.2. Membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Perintah dari Ir. Soekarno untuk Mr. Syarifuddin prawiranegara
3.2.1.3. Terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh Letkol Suharto, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi
3.2.2. Indonesia Menghadapi Agresi Militer Belanda II
3.2.2.1. 1. Langkah Politik/Diplomasi
3.2.2.1.1. Delegasi Belanda di Jakarta untuk disampaikan kepada KTN di Yogyakarta. Isi Surat tersebut adalah Belanda tidak terikat lagi dengan isi perjanjian Reville
3.2.2.2. 2. Langkah Militer/Konfrontasi
3.2.2.2.1. Pada 9 November 1948, perintah sisaat tersebut intinya merupakan penjabaran dari Pertahanan Rakyat Semesta. Wehrkreise
3.2.3. Reaksi Dunia Terhadap Agresi Militer Belanda II
3.2.3.1. Negara Asia dan Afrika
3.2.3.1.1. Tanggal 20-23 Januari 1949, atas prakarsa Perdana Menteri India dan Birma, diselenggarakan Konferensi Asia untuk membahas masalah Indonesia. Konferensi Asia mengeluarkan tiga resolusi untuk penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda, yang isinya antara lain berupa kecaman keras terhadap agresi militer.
3.2.3.2. Perubahan Sikap Amerika Serikat
3.2.3.2.1. Amerika Serikat sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya selalu mendukung Belanda. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, Dr. Baskara T. Wardaya (2006), menyampaikan bahwa Amerika Serikat selalu mendukung Belanda untuk menduduki kembali Indonesia.
3.2.3.3. PBB
3.2.3.3.1. Dewan Keamanan PBB segera bersidang pada tanggal 24 Januari 1949 sebagai reaksi terhadap Agresi Militer Belanda II sekaligus tanggapan terhadap desakan negara-negara Asia dan Afrika dalam pertemuan di New Delhi (India). Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi.
3.2.3.4. Palang Merah Internasional (PMI)
3.2.3.4.1. Salah satu Organisasi Internasional yang tercatat pernah terlibat dalam urusan penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan Belanda ialah Organisasi Palang Merah Internasional. Salah satu upaya yang cukup mendapat perhatian karena berakhir dengan sangat tragis adalah upaya mengirimkan bantuan melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat ringan bertanda Palang Merah Internasional yang berakhir dengan kegagalan karena pesawat tersebut ditembak jatuh oleh pesawat tempur Belanda saat akan mendarat di lapangan udara Magoewo di Yogyakarta.
4. Perjuangan Fisik
4.1. Pertempuran Surabaya
4.1.1. Kedatangan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
4.1.2. tanggal 27 Oktober 1945 tentara Inggris mulai menduduki gedung pemerintahan, yang dipertahankan oleh rakyat dan pemuda Indonesia sehingga terjadi pertempuran
4.1.3. Tanggal 29 Oktober 1945 atas permintaan Letnan Jenderal Christison, Presiden Soekarno terbang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
4.1.4. Pada tanggal 31 Oktober 1945 tersiarlah berita bahwa Brigadir Jendral Mallaby hilang kemudian ternyata terbunuh. Karena tidak dapat menangkap pembunuhnya
4.1.5. pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal Manserg dengan surat sebaran menyampaikan ultimatum.
4.1.6. Sampai tangal 10 November 1945, jam 06.00 pagi tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang datang menyerahkan diri. Saat itu jugalah mengguntur dentuman meriam-meriam Inggris yang dimuntahkan pelurunya di kota Surabaya.
4.2. Perang Aceh
4.2.1. Perang Aceh terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara pada abad ke-19 Masehi.
4.2.2. Perang Aceh I (1873-1874)
4.2.2.1. perang diawali pada 26 Maret 1873, ketika geladak kapal komando Citadel van Antverpen secara resmi memaklumkan perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam.
4.2.2.2. pada 6 April 1873 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R.Kohler berlabuh di Pantai Ceureumen, Aceh Barat.
4.2.2.3. pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah
4.2.3. Perang Aceh II (1874-1880)
4.2.3.1. Ekspedisi Aceh II oleh Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
4.2.3.2. perang fase kedua yang dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood.
4.2.4. Perang Aceh III (1881-1896)
4.2.4.1. para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda.
4.2.4.2. Pada 1891, Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan ahli bahasa Arab dan Islam yang juga penasihat untuk urusan adat dari pemerintah kolonial datang ke Aceh.
4.2.4.3. Peran Snouck Hurgronje menjadikan pasukan Belanda lebih terbantu, karena ia menggunakan siasat menyerang dari dalam yang nantinya membuahkan hasil gemilang.
4.2.4.4. Teuku Umar, dikabarkan menyerah kepada Belanda. Namun, itu ternyata hanya taktik semata untuk memperlemah kekuatan lawan.
4.2.5. Perang Aceh IV dan Akhir (1896-1910)
4.2.5.1. Dipimpin Cut Nyak Dien, istri Teuku Umar, dengan dibantu oleh pejuang wanita bernama Pocut Baren, rakyat Aceh terus melakukan perlawanan.
4.2.5.2. Teuku Umar yang kembali bergabung dengan pasukan Aceh. Sayangnya, pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur di Meulaboh.
4.2.5.3. Tahun 1905, Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan kemudian wafat pada 1910. Kematian Cut Nyak Dien pun menjadi penanda berakhirnya Perang Aceh.
4.3. Perang Ambarawa
4.3.1. Perang ini adalah peristiawa perlawanan rakyat Indonesia terhadap sekutu Inggris dan Belanda yang terjadi di Ambarawa, sebelah Selatan Semarang, Jawa Tengah.
4.3.2. Perang dimulai pada 20 November 1945, berlangsung selama 25 hari, dan berakhir pada 15 Desember 1945.
4.4. Perang Medan Area
4.4.1. Latar Belakang
4.4.1.1. pertempuran Medan area diawali dengan kedatangan pasukan Sekutu pada 9 Oktober 1945 di Sumatra Utara. Pasukan tersebut dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D Kelly.
4.4.1.2. Sekutu membawa satu brigade, yaitu Brigade 4 dari Divisi India ke-26.
4.4.1.3. Brigadir itu didukung oleh orang-orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang diam-diam dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan Indonesia.
4.5. Perang Bandung Lautan Api
4.5.1. Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan Sekutu/Inggris pada 12 Oktober 1945.
4.5.2. Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II melawan Jepang.
4.5.3. Kronologi
4.5.3.1. Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda. Rakyat Indonesia diperingatkan agar meletakkan senjata dan menyerahkannya kepada Sekutu.
4.5.3.2. Angkatan perang RI merespons dengan melakukan penyerangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu, pada malam tanggal 24 November 1945.
4.5.3.3. Pada 27 November 1945, Kolonel MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Djamin, agar rakyat dan tentara segera mengosongkan wilayah Bandung Utara.
4.5.3.4. Peringatan yang berlaku sampai tanggal 29 November 1945 pukul 12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka Sekutu akan bertindak keras.
4.5.3.5. Tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stopford, memperingatkan kepada Soetan Sjahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer Indonesia segera meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota.
4.5.3.6. pada 24 Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution memutuskan untuk membumihanguskan Bandung.
4.5.3.7. TRI merencanakan pembakaran total pada 24 Maret 1945 pukul 24.00, namun rencana ini tidak berjalan mulus karena pada pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di Gedung Indische Restaurant.
4.5.3.8. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan TRI melanjutkan aksinya dengan meledakkan gedung-gedung dan membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara.