Lancez-Vous. C'est gratuit
ou s'inscrire avec votre adresse e-mail
Otonomi Daerah par Mind Map: Otonomi Daerah

1. Otonomi Daerah di Indonesia

1.1. Kerangka Konstitusional

1.1.1. Undang-Undang No.22/ 1999

1.1.1.1. Pemda memberi kekuasaan besar kpd DPRD atas Bupati sebagai Kepala daerah (dipilih dan diberhentikan oleh DPRD)

1.1.1.1.1. 2 makna penting

1.1.1.1.2. Otoritas sosial dan politik tiap anggota DPRD sangat kuat

1.1.1.1.3. Merupakan perubahan besar dibanding UU no.5/ 1974 pasal 15 - 16 yg menetapkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan Menteri Dalam Negeri berdasarkan 2 calon usulan DPRD (berbasis kepentingan politik pusat - kekuasaan Kepala Daerah tergantung pada Menteri Dalam Negeri, bukan DPRD)

1.1.2. Undang-Undang No.32/ 2004

1.1.2.1. Anggota DPRD dan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.

1.1.3. Undang-Undang No.12/ 2008

1.1.3.1. Memungkinkan adanya calon independen

1.1.3.2. Sebagai revisi thdp UU No.32/ 2004 untuk mengatasi potensi disfungsi determinasi oleh partai politik

1.2. Tujuan Otonomi Daerah

1.2.1. Memberikan kekuasaan legislatif pada tingkat provinsi/ kabupaten untuk memilih dan meminta pertanggungjawaban pemerintah lokal.

1.2.2. Dengan kekuasaan besar yg dimiliki oleh daerah (dlm berbagai bidang), Komunitas lokal memiliki kesempatan berpartisipasi yg lebih besar dlm pengambilan keputusan dan penyediaaan layanan daerah

1.2.3. Menjamin kepentingan dan kebutuhan warga negara tidak akan dikorbankan (dgn partisipasi penuh).

1.3. Praktek Otonomi Daerah

1.3.1. Mendorong meluasnya inklusivitas sosial & distribusi pembangunan menjadi lebih adil

1.3.1.1. Melahirkan praktek kekuasaan yg demokratif (akuntabel, transparan, dan responsif) thdp kebutuhan masyarakat lokal - terbukanya akses masyarakat thdp sumber daya sosial, ekonomi, politik.

1.3.1.2. Contoh : Dialog antara Pemerintah daerah masing-masing dengan warga lokal di Bandung, Indramayu, dan Semarang

1.3.2. Kebijakan Otonomi daerah mendorong penguatan eksklusi sosial

1.3.2.1. Tertutupnya akses masyarakat thdp sumber daya

1.3.2.2. Prinsipnya nampak pada praktek KKN. Contoh kasus : Praktek Korupsi di Mentawai, Kolusi oleh bupati E.Saleleubaja dlm prosedur seleksi Pegawai Negeri Sipil, dan Kolusi antara legislatif & eksekutif di Kalimantan Tengah.

2. Kesimpulan

2.1. Otonomi Daerah merupakan perkembangan dan kemajuan demokrasi Indonesia

2.1.1. Partisipasi warga negara dlm proses pembuatan kebijakan mendorong lahirnya kebijakan pembangunan yg responsif thdp kepentingan & kebutuhan warga

2.1.2. Warga negara memiliki kesempatan terlibat AKTIF untuk memilih aparatur pemerintah, maupun dipilih menjadi anggota DPRD/ Kepala Daerah

2.2. Otonomi daerah bukan kontruksi demokrasi yg selesai

2.2.1. Praktek KKN bukti konstruksi otonomi daerah harus disempurnakan di masa depan

2.2.2. Peran aktif warga negara adalah tuntutan yg bersifat politis, juga moral

3. Sumber : Tim Character Building Development Center. 2015. Character Building : Kewarganegaraan. Jakarta : Universitas Bina Nusantara.

4. Pengertian

4.1. Secara konseptual, didefinisikan sebagai DESENTRALISASI

4.1.1. Pengertian : Transfer tanggungjawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik pada level propinsi maupun kabupaten.

4.1.2. Berdasarkan bentuk, dibagi menjadi

4.1.2.1. Desentralisasi administrasi

4.1.2.1.1. redistribusi otoritas

4.1.2.2. Desentralisasi politik

4.1.2.2.1. berkaitan dengan organisasi dan prosedur meningkatan partisipasi warga negara

4.1.2.3. Desentralisasi keuangan

4.1.2.3.1. kewenangan pemda untuk mengatur keuangan daerah sendiri

4.1.2.4. Desentralisasi ekonomi

4.1.2.4.1. kewenangan pemda untuk mengurus pengelolaan sumber daya ekonomi daerahnya

4.1.3. Berdasarkan tingkat diskresi, dibagi menjadi

4.1.3.1. Dekonsentrasi

4.1.3.1.1. pemerintah pusat memiliki otoritas yg lbh kuat

4.1.3.2. Delegasi

4.1.3.2.1. masih ada campur tangan pem. pusat

4.1.3.3. Devolusi

4.1.3.3.1. tanpa campur tangan pem. pusat

4.1.3.4. Transfer tanggungjawab kepada organisasi nonpemerintah, seperti LSM

5. Manfaat

5.1. Menurut para ahli, Keuntungan yg dimiliki DESENTRALISASI

5.1.1. Meningkatkan prinsip dasar pemerintahan yg baik (ada keterbukaan politik, partisipasi, toleransi)

5.1.2. Meningkatkan kapasitas pemda untuk mendistribusi barang/ fasilitas publik secara adil

5.1.3. Meningkatkan representasi politik dari berbagai kelompok sosial masyarakat

5.1.4. Proses pembuatan kebijakan publik lebih dekat dengan warga masyarakat

5.1.5. Meningkatkan kreativitas, inovasi dari semua institusi pemerintah dlm merespon kebutuhan publik

5.1.6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

5.2. Menurut Rik Van Berkel, alasan dilakukan kebijakan DESENTRALISASI

5.2.1. Memungkinkan kebijakan program pembangunan dpt beradaptasi dengan kebutuhan, dan lingkungan/ kondisi lokal

5.2.2. Merangsang berkembangnya bentuk kerjasama tingkat lokal untuk mengatasi persoalan sosial

5.2.3. Potensi inklusi dapat mendorong keterlibatan berbagai aktor tingkat lokal (warga, pasangan sosial, institusi publik, organisasi voluteristik dlm pembuatan-implementasi kebijakan)

6. Awal Pemikiran

6.1. 2 hal penanda Orde Baru (menurut Eep S. F.)

6.1.1. Krisis Partisipasi Politik

6.1.1.1. Negara memandang diri sebagai satu-satunya yg sah, berhak berkuasa dan memerintah, menolak partisipasi masyarakat.

6.1.1.2. Organisasi bentukan masyarakat dianggap tidak sah

6.1.1.3. Negara sering melarang digunakannya cara-cara partisipasi tertentu oleh rakyat, mengendalikannya melalui tekanan & paksaan oleh aparatur represif.

6.1.1.4. Banyak tuntutan masyarakat dianggap tidak sah & inkonstitusional dgn wewenang negara.

6.1.2. Kontrol Kekuasaan yg Tidak Efektif

6.1.2.1. Tidak ada saluran kontrol efektif di tingkat infra dan supra struktur politik.

6.1.2.2. Negara memiliki keleluasaan besar menafsirkan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan (Wewenang ini dilakukan untuk membungkam kritisisme dan kontrol masyarakat thdp negara).

6.1.2.3. Seluruh elemen yg harusnya berperan efektif dlm proses politik & kekuasaan telah terkorporatisasi oleh negara (menjadi aparatur negara), elemen yg menolak korporatisasi kehilangan efektifitasnya.

6.2. Pemerintah Daerah tanpa Otonomi Daerah

6.2.1. hanya perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, tidak memiliki keleluasaan memobilisasi sumberdaya lokal.

6.2.2. Akibat ketidakleluasaan : program pembangunan lokal lebih merefleksikan kepentingan & kebutuhan pemerintah pusat dibanding masyarakat lokal.

6.3. Pemerintah Daerah dengan Otonomi Daerah

6.3.1. bukan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, dapat memobilisasi dan mengelola sumberdaya lokal sesuai potensinya.

6.3.2. Kontrol Pemda bergantung pada masyarakat lokal (melalui pemilihan langsung anggota DPRD/ Kepala Daerah), bukan Pemerintah Pusat.

6.3.3. Masyarakat lokal memiliki akses langsung dlm proses pembuatan kebijakan pembangunan lokal (kesempatan melakukan lobi-lobi pembangunan dgn aparatur negara tingkat lokal).