Religion Epistemology

Get Started. It's Free
or sign up with your email address
Religion Epistemology by Mind Map: Religion Epistemology

1. Definisi

1.1. Religious Epistemology merupakan pembelajaran filosofis terhadap validalitas kepercayaan agamawi.

1.2. Epistemologi Reform telah berkembang dalam epistemologi agama Kristen kontemporer, seperti dalam karya Alvin Plantinga (lahir 1932), William P. Alston (1921-2009), Nicholas Wolterstorff (lahir 1932) dan Kelly James Clark, sebagai kritik terhadap dan alternatif untuk gagasan "pembuktian" dari jenis yang diusulkan oleh WK Clifford

2. Respon para filsuf Kristen

2.1. Kembali kepada pembuktian Allah, absence of evidence is not evidence of absence. Bahkan dalam dunia Fisika astronomi, pernyataan tersebut juga digunakan oleh para ilmuwan. Sehingga muncul di antara para filsuf mengenai hipotesis hiddeness of God. Scriven berkata bahwa kita bisa menolak suatu kepercayaan ketika secara keseluruhan tidak ada bukti yang mendukung. Sebagian atheist berargumen bahwa jika Allah ada, maka Allah seharusnya melabel diriNya di dunia dan menunjukkan diriNya agar ada bukti akan kehadiran Allah. Namun tujuan Allah menciptakan bukanlah sekedar untuk relasi percaya atau tidak, melainkan untuk menjalin hubungan kasih antara Allah dan manusia.

2.2. Kepercayaan akan Allah hadir ada dalam momen yang tepat, seperti rasa bersyukur, bersalah, kekaguman akan ciptaanNya sesuai dengan konsep sensus divinitatis. Kehadiran Allah tidak dibuktikan dari fenomena tersebut, namun fenomena tersebut menciptakan konteks dalam sensus divinitas sehingga kepercayaan akan Allah adalah dasar. Sehingga walaupun menurut pandangan evidensialis, Allah bisa dibilang hadir dan ada karena kondisi evidensialis adalah untuk suatu kepercayaan valid, maka harus mendasar atau terbukti.

3. Mengapa penting?

3.1. Religion Epistemology penting untuk dapat membuktikan kepada orang-orang bahwa Allah itu ada, terutama kepada para filsuf evidensialisme dan juga para atheist dan agnostic

3.2. Pertanyaan paling umum yang diangkat oleh para filsuf terhadap epistemologi ialah apakah kepercayaan tersebut tampak rasional, dibenarkan, dijamin, masuk akal, berdasarkan bukti dan sebagainya

3.3. Inti dari pandangan Epistemologi Reformed adalah untuk menantang kaum fundamentalis terhadap klaim rasionalitas yang ada, pada kenyataannya, tidak ia miliki. Dengan menggunakan kriteria yang diduga ini, kaum fundamentalis mengklaim untuk membedakan mana praktik epistemik yang rasional dan mana yang tidak. Praktik non-rasional, menurutnya, termasuk praktik-praktik agama.

4. Penyangkalan

4.1. Logical Positivisme percaya terhadap verifikasi. Sebuah informasi agar menjadi informasi yang valid, harus bisa dibuktikan sacara empiris. Oleh sebab Allah hidup, Allah ada tidak bisa dibuktikan, maka para filsuf postivis menganggap pernyataan tersebut sebagai tidak berarti. Sebaliknya ada filsuf falsifikasi, dimana sebuah pernyataan baru valid ketika bisa dibuktikan sebaliknya. Pada pandangan postivis dan falsifikasi, hipotesis kehadiran Allah bukannya salah, namun tidak berarti.

4.2. Pertentangan akan filsafat verifikasi

4.2.1. Pertama, filsafat verifikasi sangat dibatasi, bahkan pernyataan ilmiah yang tidak dapat dibuktikan akan tidak berarti. Kedua, 2 pandangan filsafat tersebut menyangkal diri sendiri. Karena penjelasan bahwa suatu informasi harus dapat diverifikasi merupakan pernyataan yang tidak ada landasannya, sehingga bisa dibilang tidak berarti.

5. Sehingga..

5.1. Pertanyaan bahwa Allah ada atau tidak dan berlandasan bukan epistemologis namun metafisikal dan teological. Pernyataan tersebut tidak bisa hanya dibuktikan dengan pandangan evidensialis dalam epistemologis. Seorang yang percaya kepada iman Kristen dapat dibilang rasional dan terlandasi dari pandangan adanya roh kudus dan firman. Allah berbicara pada kita melalui Firman, Roh Kudus, dan Iman sehingga orang-orang dapat melihat dan percaya kepada kebenaran FirmanNya dan pada akhirnya percaya kepada Allah. Ketiga aspek tersebut merupakan proses dalam pembentukan kepercayaan. Pertama, kepercayaan tersebut dibentuk atas proses kognitif. Kedua, tempat dimana dosa menghamburkan pengertian kognitif kita adalah tempat yang sama dimana kepercayaan tersebut bekerja. Ketiga, proses ini ada untuk menciptakan kepercayaan yang benar. Keempat, kepercayaan yang tercipta adalah benar sehingga proses dapat dikatakan membuat kepercayaan yang benar. Sehingga baik dalam justifikasi dan landasan, tidak perlu adanya aspek de facto dan de jure karena kepercayaan akan Allah adalah sesungguhnya mendasar.

6. Atheism dan Agnosticism

6.1. Ada perbedaan antara atheist dan agnostic. Atheist memiliki arti sebagai non-theist, atau non-believer, sehingga membutuhkan justifikasi. Sedangkan agnostic berarti tidak tahu bahwa Allah ada atau tidak, sehingga tidak memerlukan justifikasi.

6.2. Namun keduanya bersifat sama-sama menentang untuk percaya kepada Allah atas landasan tidak ada bukti / landasan yang mendukung untuk membuktikan keberadaan Allah.